SEJARAH DEWA HOK TEK CIN SIN (FU DE ZHENG SHEN / Dewa Bumi atas Kemakmuran dan Jasa) Bagian ke-2



MEMBEDAKAN ALTAR DAN RUPANG FU DE ZHENG SHEN DAN TU DI KONG

Fu De Zheng Shen (Hanzi : 福德正神; Hokkian : Hok Tek Cin Sin) adalah Dewa Bumi atas kemakmuran dan jasa; merupakan salah satu Dewa dalam agama Tao yang sering dianggap sama atau merupakan nama resmi dari Dewa Bumi atau sering disebut Tu Di Gong (土地公).

Sebuah cerita mengatakan bahwa Fu De Zheng Shen sesungguhnya adalah seseorang yang pernah hidup pada zaman Dinasti Zhou, pada masa pemerintahan Kaisar Zhou Wu Wang, bernama Zhang Fu De. Beliau lahir pada tahun 1134 M, pada tahun ke-2 pemerintahan Zhou Wu Wang, tanggal ke-2 bulan ke-2 Imlek. Sejak kecil, Zhang Fu De sudah menunjukkan bakat sebagai orang yang pandai dan berhati mulia. Saat berumur 7 tahun, Beliau telah belajar ilmu sastra Tionghoa kuno, lincah, pintar, taat perintah orang tua, jujur, senang menolong fakir miskin, dan supel dalam pergaulan.

Saat berusia 36 tahun, Beliau memangku jabatan sebagai pejabat perpajakan kerajaan. Dalam mejalankan tugasnya, Beliau selalu bertindak bijaksana tidak memberatkan rakyat. Beliau selalu menolong yang miskin tanpa pernah absen; karena itu rakyat sangat mencintainya. Beliau meninggal pada usia 102 tahun pada tahun 1236 M, pada generasi kedua kekaisaran Dinasti Zhou. Setelah tiga hari meninggal, wajahnya sama sekali tidak berubah sehingga masyarakat yang melayat menjadi terkejut. Para penduduk tidak pernah melupakan semua perbuatan baik yang telah Beliau lakukan.

Jabatannya digantikan oleh seseorang yang bernama Wei Chao. Wei Chao adalah seorang tamak dan rakus serta kejam. Dalam menarik pajak, ia tidak mengenal kasihan sehingga masyarakat sangat menderita. Akhirnya karena penderitaan hidup yang tak tertahankan, penduduk banyak yang pergi meninggalkan kampung halamannya sehingga sawah ladang banyak terbengkalai. Mereka berharap mendapatkan pemimpin yang bijaksana seperti Zhang Fu De yang telah meninggal. Sebab itulah mereka kemudian memuja Zhang Fu De sebagai tempat memohon perlindungan. Dari nama Zhang Fu De inilah kemudian muncul gelar Fu De Zheng Shen yang dianggap sebagai Dewa Bumi.

Ada sebuah keluarga miskin yang mengenang kebaikan Zhang Fu De dan mengharapkan Beliau kembali untuk memimpin desa mereka. Mereka mengambil empat buah batu bata untuk membuat sebuah kuil kecil untukNya; tiga bata untuk tembok dan yang satu untuk atap, memberi tulisan Fu De zheng Shen di dalamnya, dan meletakkan sebuah tempayan kecil yang pecah untuk tempat memasang hio. Setiap hari mereka berdoa di sana. Wei Chao yang mengetahui hal tersebut tertawa dan mengejek mereka, tetapi keluarga tersebut berkata, “Ada uang, tinggal di gedung besar; tidak punya uang tidak punya rumah, tinggal di tempayan pecah.” Ternyata keluarga tersebut menjadi kaya, penduduk menjadi mempercayai Zhang Fu De kemudian membangun sebuah kuil untukNya. Konon menurut legenda, karena kebaikan dan kemurahan hati Zhang Fu De, membuat haru sang Dewi Thian Shang Seng Mu (Makco), sehingga menyuruh Ba Xian (8 Dewa) untuk menjemput Zhang Fu De ke kahyangan untuk menjabat menjadi Dewa Tu Di Gong.

Kultus Pemujaan

Dewa Fu De Zheng Shen digambarkan sebagai seorang pria tua yang tersenyum ramah, berambut serta berjanggut panjang berwana putih, dan seringkali digambarkan dalam posisi duduk. Tidak banyak klenteng yang membedakan antara Fu De Zheng Shen dengan Tu Di Gong. Jika klenteng tersebut membedakan altar untuk keduanya, altar Fu De Zheng Shen selalu berada di atas (sejajar dengan ketinggian altar-altar Dewa-Dewi yang lain), sementara altar Tu Di Gong berada di bawah (hampir sejajar dengan lantai) dan biasanya ditempatkan di bawah altar dewa yang lain. Tu Di Gong sendiri sering juga divisualisasikan (dalam bentuk patung atau lukisan) bersama dengan seorang nenek yang disebut “Tu Di Poo“.

Tu Di Gong sendiri adalah para Dewa Bumi yang menguasai tanah (area) lokal, seperti sebuah area tanah tempat suatu bangunan didirikan. Masing-masing wilayah memiliki Tu Di Gong yang berbeda. Konon Mereka adalah kelompok Dewa yang berkedudukan paling rendah dalam “Tata Birokrasi Surga” serta yang paling dekat dengan umat manusia. Karena berhubungan dengan tanah (termasuk tanah pemakaman), altar untuk Tu Di Gong selalu diletakkan sejajar dengan lantai atau tanah. Pada makam-makam Tionghoa biasanya selalu memiliki sebuah bangunan kecil di sampingnya yang digunakan untuk memuja Tu Di Gong.

Pada masa lalu, hanya para pejabat pemerintah yang diperbolehkan untuk membangun kuil pemujaan kepada tatanan para dewata. Masyarakat awam tidak diperbolehkan untuk berdoa di sana. Namun, masyarakat menemukan cara untuk bersembahyang kepada Tu Di Gong; masyarakat yang kebanyakan merupakan petani atau penggarap sawah yang miskin itu membuat papan dari tanah liat kemudian meletakkan di tanah sebagai media untuk berdoa. Inilah asal usul mengenai kenapa altar untuk Tu Di Gong diletakkan di atas tanah; sementara altar untuk Fu De Zheng Shen diletakkan di atas meja altar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Tentang Penulis

Tentang Penulis
Mengky Mangarek, salah satu IT preneur, penggemar kisah para Buddha, Bodhisattva serta penulis buku dan komik Zen, juga pernah mengisi di beberapa radio talk, seminar dan penulis / admin dibeberapa blog seperti Kisah Para Dewa dan Cetya Tathagata yang telah memiliki lebih dari 20,000 pembaca setia.

tentang penulis

tentang penulis
Jacky Raharja adalah seorang entrepreneur kelahiran 10 February 1982 dan berdomisili di Jakarta. Mengawali karier profesional sebagai seorang Marketer pada sebuah Top Multinational Company yang bergerak di bidang FMCG pada tahun 2007. Mempunyai passion yang sangat tinggi dalam hal brand management & strategic dan meninggalkan dunia profesional pada tahun 2013 sebagai Brand Manager demi mengejar passion lainnya yaitu menjadi seorang Entrepreneur yang mempunyai jaringan bisnis sendiri. Bergabung dengan Cetya Tathagata Jakarta sebagai bagian dari committee sejak tahun 2005 dan sebagai salah satu kontributor atas artikel-artikel pada social media Cetya Tathagata Jakarta.

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.