Desain Gaun Pengantin



Zaman dulu, menikah dianggap titik batik penting bagi wanita dan merupakan satu-satunya cara bagi mereka untuk memperoleh hidup yang terberkati. Maka, semua wanita harus menguasai seni menjahit sejak muda, sehingga mereka bisa menjahit baju pengantin mereka sendiri. Dengan demikian, wanita `rnenjahit' visi dan harapannya untuk masa depannya. 



Pakaian pengantin tidak hanya membuat pengantin terlihat anggun, tapi juga melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan. Secara tradisional, pengantin wanita di China akan memakai hiasan kepala phoenix, dihiasi benang merah, dan memakai kemeja sutra merah dengan jubah merah bersulam dan jaket. Pengantin juga akan memakai pita leher, menggantungkan cermin penampak siluman di depan dadanya, penutup bahu merah muda, membawa kan-tong leturunan', memakai gelang, kalung, dan sepatu merah bersulam. 

Seni Pakaian Pernikahan Pengantin biasanya memakai pakaian baru untuk melambangkan status `baru menikah'. Bila pengantin memakai pakaian lama, orang akan menganggapnya tidak beruntung dan bahkan meragukan kesetiaannya. Dulu, di daerah Jingjian di provinsi Jiangsu, pakaian pengantin sangat sederhana. Pengantin hanya memakai pakaian tenunan sendiri yang biasa dikenal sebagai `pakaian daster'. Menurut legenda, ketika jenderal Dinasti Song, Yue Fei dipanggil ke ibu kota setelah pertempuran perbatasan-nya, is memerintahkan keturunan daripengikutnya untuk menikah di Jingjiang. Karena orang-orang ini berada di medan perang bertahun-tahun, mereka tidak bisa membuat pakaian pengantin yang pantas. Maka, pengantin wanita memakai pakaian sederhana untuk pernikahan mereka. Di Shandong, pengantin diharapkan memakai lapisan jaket berpelapis. Ketika pengantin wanita pindah ke rumah pengantin pria pada hari pernikahan, kerabat pengantin pria akan memukul pengantin wanita di punggungnya dengan tongkat kayu. Maka, jaket ber-pelapis berfungsi untuk melindungi pengantin wanita. Mahkota dan Sepatu Phoenix Pada masa lalu, bagian paling menonjol dari pakaian pengantin wanita adalah mahkota phoenix yang melambangkan nasib baik.

Konon, kebiasaan memakai mahkota phoenix dimulai pada Dinasti song Selatan, ketika kaisar Song pertama mencoba niemberi hadiah pada gadis desa yang menyelamatkan dirinya. Karenanya, memakai mahkota phoenix berarti diberkati. Namun, mereka yang menikah kedua kalinya atau menjadi selir seseorang dilarang memakai mahkota phoenix. Di masa lalu, keterampilan menjahit pengantin wanita Han China dicerminkan dalam sepatunya. Di daerah Jinzhong, sepatu yang disulam oleh pengantin sebelum perkawinannya disebut `melihat sepatu' , kan xie). Pola sepasang delima, anggur, burung pipit, plum, bambu, dan dahlia disulam di nisi atas sepatu. Sepatu ini, dengan mahar lainnya, dikirim ke rumah pengantin pria sehari sebelum upacara pernikahan di-mulai. Ibu mertua, kakak ipar, dan tetangga kemudian diundang untuk menjadi `juri' yang akan mengomen-tari keterampilan pengatin. Tetapi, yang terpenting, mereka akan memeriksa apakah kaki pengantin yang terikat berukuran 'Tiga inci'. Ini akan me-mengaruhi status dalam keluarga dan masyarakat setelah perkawinannya.


Sepatu sulam yang dibuat pengantin pada hari perkawinannya berkualitas sangat bagus. Seni menjahit tidak sepenting desain sulaman yang harus menun-jukkan phoenix sedang bermain dengan dahlia. Tidak digunakan kain satin. Hal ini untuk menghindari tabu `menjadi yang terakhir dari garis keturunan seseorang. Di daerah Yimeng di Shandong, pengantin di-harapkan menjahit sepasang sepatu lunak terbuat d.ari kain sutra damask. Sepatu itu disebut `sepatu jalur kuning'. Pada hari pernikah-an, mereka yang maju memberi selamat bisa merobek sepatu ini dan menggunakan bahan itu untuk membuat topi bagi anak-anaknya. Dipercaya bahwa topi yang ter-boat dad sepatu akan mencegah anak berkoreng kulit kepala. 

Legenda menempelkan Kertas Merah  dI Jendela Kamar pengantin


Pada zaman dahulu, semua jendela kamar pengantin harus ditempeli kertas merah. Menurut legenda, Ratu Laut melahirkan seeker burung dengan sembilan kepala. Burung ini, meskipun jelek, memiliki bulu berwarna. Suatu hari, burung ini mendengar bahwa pengantin di kamar pengantin dianggap sebagai wanita tercantik. Merasa cemburu, is mencari sang pengantin. Tetapi, semua pintu kamar tertutup rapat. Akhirnya, burung itu menempelkan kepalanya di jendela. dan hal itu sangat menakutkan sang pengantin. membuatnya berteriak. Orang-orang memukul burung itu dengan tongkat, dan burung itu terbang keluar. Untuk mencegah kejadian ini terjadi lagi, jendela kamar pengantin diterangi obor seperti disarankan °len para tetua. Karena burung berkepala sembilan khawatir bulunya terbakar, is tidak berani mendekati jendela lagi. Kemudian, orang-Orang mengganti obor dengan kertas merah. Burung berkepala sembilan salah menyangka kertas merah sebagai obor menyala dan is tidak berani mendekati kamar. 

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Tentang Penulis

Tentang Penulis
Mengky Mangarek, salah satu IT preneur, penggemar kisah para Buddha, Bodhisattva serta penulis buku dan komik Zen, juga pernah mengisi di beberapa radio talk, seminar dan penulis / admin dibeberapa blog seperti Kisah Para Dewa dan Cetya Tathagata yang telah memiliki lebih dari 20,000 pembaca setia.

tentang penulis

tentang penulis
Jacky Raharja adalah seorang entrepreneur kelahiran 10 February 1982 dan berdomisili di Jakarta. Mengawali karier profesional sebagai seorang Marketer pada sebuah Top Multinational Company yang bergerak di bidang FMCG pada tahun 2007. Mempunyai passion yang sangat tinggi dalam hal brand management & strategic dan meninggalkan dunia profesional pada tahun 2013 sebagai Brand Manager demi mengejar passion lainnya yaitu menjadi seorang Entrepreneur yang mempunyai jaringan bisnis sendiri. Bergabung dengan Cetya Tathagata Jakarta sebagai bagian dari committee sejak tahun 2005 dan sebagai salah satu kontributor atas artikel-artikel pada social media Cetya Tathagata Jakarta.

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.