Cara Prosedur Menjalankan Tradisi Sembahyang King Thi Kong (敬天公)

Foto Kisah Para Dewa dan Ajaran Tao. 
Cara Prosedur Menjalankan Tradisi Sembahyang King Thi Kong (敬天公)
Kebajikan ( De 德 ) - Secara umum, orang Tionghoa biasa menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai Thian Kong (Tian Gong) atau Thi Kong, atau disebut juga Huang Tian Shang Di (皇天上帝).
Sebenarnya Tuhan itu sendiri tak dapat dijangkau oleh daya pikir / nalar umat manusia yang terbatas, juga tidak dapat dijelaskan melalui ucapan dan tulisan yang amat sangat terbatas, namun melalui penciptaan-Nya kita mempercayai adanya SATU TUHAN, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Percaya dan hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa telah ada sejak 5.000-an tahun yang lalu pada zaman 五帝 Wu Di (Ngo Tee = 5 Kaisar Kuno, tahun 2952 – 2205 SM).
Tradisi Sembahyang King Thi Kong (敬天公) ini turun temurun hingga sekarang, itulah sebabnya setiap tahunnya pada tanggal 9 bulan 1 Imlek, yang tahun ini jatuh pada tanggal 5 Februari 2017 orang Tionghoa terutama orang Hok Kian, melakukan upacara sembahyang King Thi Kong (敬天公) yang dalam Bahasa Mandarin dilafalkan Jìng Tiān Gōng berarti sembahyang kepada Tuhan yang disebut juga perayaan Tahun Baru orang Hokkian.
Upacara sembahyang King Thi Kong ini telah meluas dan bisa dilakukan mulai dari kalangan atas sampai ke golongan masyarakat yang paling bawah atau orang-orang miskin sekalipun, seperti petani, pedagang dan lain-lain. Wilayah Cina yang menyelenggarakan upacara ini adalah propinsi Fujian dan Taiwan. Upacara ini juga diadakan di tempat-tempat lain yang didiami oleh komunitas yang leluhurnya berasal dari kedua propinsi tersebut.
Di Propinsi 福建 Fu Jian (Hok Kian) dan 臺灣 Taiwan muncul istilah yang sangat populer, yaitu 初九天公聖 Chu Jiu Tian Gong Sheng, yang berarti bahwa pada Cia Gwe Cwe Kao (Tanggal 9 bulan pertama Imlek) adalah Hari Ulang Tahun Thi Kong. Upacara King Ti Kong ini disebut juga dengan istilah Sembahyang Tebu.
Sehingga masyarakat di propinsi Hok Kian dan Taiwan mengadakan sembahyang khusus untuk menghormati Thi Kong (Tuhan). Upacara King Thi Kong ini juga telah menyebar di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Saat ini yang sembahyang King Thi Kong, bukan hanya orang Hok Kian saja, tapi sudah menyebar dengan suku Tionghoa lainnya seperti Tio Ciu, Kong Hu, Hakka dll.

Persiapan Upacara King Thi Kong
Upacara King Thi Kong dapat diselenggarakan secara sederhana atau lengkap, yang terpenting adalah ketulusan dan kesuciannya, bukan kemewahannya. Sembahyang King Thi Kong ini biasanya dilakukan pada Cia Gwe Ce Pek (Tanggal 8 bulan 1 imlek) tengah malam pukul 12 yang berarti sudah masuk Cia Gwee Ce Kaw (Tanggal 9 bulan 1 imlek).
Yang melaksanakan ritual King Thi Kong adalah orang yang sudah berpantang makanan berjiwa atau vegetarian sejak hari ke 4 bulan 1 sampai dengan hari ke 9 bulan 1. Pantang makan daging merupakan syarat, karena dahulu para warga yang bersembunyi ke kebun tebu itu sama sekali tidak mengonsumsi daging.
Dalam ritual ini, segala perlengkapan harus khusus atau tidak pernah dipergunakan untuk keperluan lainnya, bersih lahir dan batin. Pagi hari di hari ke 9, upacara dimulai oleh anggota keluarga tertua (kakek) atau kepala keluarga (suami, ayah).
Upacara King Ti Kong dipandang terpenting dalam rangkaian upacara Sincia karena merupakan kunci dan penentu semua langkah kehidupan bagi seluruh anggota keluarga di tahun yang akan dijalani.
Penduduk yang miskin cukup menempatkan sebuah Hiolo (tempat menancapkan dupa) kecil yang digantungkan di depan pintu rumahnya dan menyalakan hio (dupa) dari pagi sampai tengah malam secara terus menerus. Bagi orang berada, acara sembahyang ini merupakan hal yang paling megah dan khidmat.

Hal-hal yang dapat mengingatkan orang Tionghoa kepada pengalaman leluhurnya waktu itu, biasanya diikut sertakan dalam tata-cara sembahyang King Thi Kong, misalnya :
- Sebuah Meja sembahyang King Thi Kong dengan taplak meja warna merah. Meja altar biasanya diletakkan di atas dua atau empat bangku kecil.
Hal ini disebabkan sewaktu pertama kali mengadakan sembahyang King Thi Kong sebagai rasa syukur, leluhur mereka tidak memiliki meja khusus dan leluhur juga mempercayai bahwa pemujaan kepada Thi Kong (Tuhan) harus di atas pemujaan biasa (melakukan penghormatan di atas kepala). Itulah sebabnya maka meja yang biasa (pendek) diberi ganjal bangku supaya menjadi lebih tinggi.
- Sepasang tebu yang diikatkan di sebelah kanan dan kiri sisi meja, biasanya diikatkan sebatang tebu yang masih utuh (ada akar sampai ujung daunnya). Ada juga sebagian yang memotong tebu menjadi 9 bagian untuk disajikan dalam sembahyang syukur ini.
Hal ini untuk mengingatkan saat leluhur dikejar-kejar pasukan Manchuria dan bersembunyi di kebun tebu. Selain itu, tebu yang masih utuh juga melambangkan hidup manusia, bahwa kesuksesan seseorang harus dibangun dengan akar yang kuat (akar tebu), melalui berbagai rintangan dan pengalaman hidup (ruas tebu) sampai tercapainya kesuksesan (daun tebu yang menjulang tinggi).
- Lilin merah besar sepasang (2 batang) dipasang di depan altar meja sebelah kiri dan kanan.
- Tiga buah Shen Wei (神位 ) atau Tempat Dewa yang terbuat dari kertas warna-warni yang saling dilekatkan.
- Tiga buah cawan kecil yang berisi teh di depan Shen Wei dijajarkan.
- Tiga buah mangkuk yang berisi misoa yang diikat dengan kertas merah.
- Wajik biasanya disajikan dalam bentuk gunungan seperti tumpeng, yang bermakna agar keberuntungannya menggunung, dan melambangkan hok lok siu (fu lu shou).
- Kue mangkok (Huat kueh) yang bentuknya selalu merekah pada bagian atasnya, bermakna agar hidupnya berkembang dan melambangkan kemakmuran atau hok lok siu (fu lu shou).
- Kue keranjang (Nian Gao / 年糕), yang bermakna agar kehidupan selalu manis dan
melambangkan kesejahteraan dan keberuntungan untuk tahun-tahun berikutnya.

- Kue Khu, yang cetakannya berbentuk kura-kura, yang bermakna agar hidupnya panjang usia seperti kura-kura dan melambangkan hok lok siu (fu lu shou).
- Lima jenis Buah-buahan dan enam macam masakan vegetarian yang disebut Wu Guo Liu Cai (五果六菜) atau Go Ko Lak Chai dalam bahasa Hok Kian, diatur di bagian depan altar meja. Ini menjadi dasar utama dalam penataan barang sajian upacara sembahyang orang Tionghoa.
- Masakan dari tiga macam hewan (Sam Sing / San Xing) atau lima macam hewan (Ngo Sing / Wu Xing), dimana sajian Sam Sing atau Ngo Sing itu sebenarnya ditujukan untuk para malaikat pengawal Thian Kong / Tuhan.
- Kim cua dan Ti Kong Kim (kertas sembahyang) biasanya dilipat dan ditumpuk secara bertingkat keatas.
Cara Sembahyang King Thi Kong
- Sebelum dimulai upacara sembahyang (Cia Gwe Cwe Pe = Tanggal 8 bulan 1 Imlek), seluruh penghuni rumah melakukan mandi keramas dan ganti baju.
- Sembahyang dilakukan tepat pukul 12 tengah malam ( Cia Gwe Ce Kaw), dimulai dengan anggota keluarga yang paling tua dalam urutan generasinya.
- Semua orang melakukan San Gui Jiu Kou (三跪九叩) atau Sam Kwi Kiu Kho dalam bahasa Hok Kian yaitu 3 kali berlutut dan 9 kali menyentuhkan kepala ke tanah.
- Setelah selesai baru kemudian kertas emas (kertas sembahyang ) yang dibuat khusus itu lalu dibakar bersama dengan Shen Wei yang terbuat dari kertas warna-warni.
- Setelah kertas sembahyang ini dibakar, maka anggota keluarga kemudian mengambil sepasang batang tebu dari altar (Umumnya cuma dipotong bagian atas pucuk tebu saja) dan melemparkannya ke dalam api.
- Petasan dinyalakan untuk mengantar kepergian para malaikat pengiring, yang melambangkan atau menandai awal dari hari kesembilan serta kelangsungan hidup orang-orang Hokkian.

Disini jelaslah bahwa orang Tionghoa mempercayai adanya Tuhan sebagai penguasa tertinggi di jagat raya ini. Hanya saja konsepsi ke-Tuhanan ini berbeda dengan agama-agama lain, sebab bagi orang Tionghoa, Tuhan atau Thian Kong adalah Pencipta yang Esa. Salam kebajikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Tentang Penulis

Tentang Penulis
Mengky Mangarek, salah satu IT preneur, penggemar kisah para Buddha, Bodhisattva serta penulis buku dan komik Zen, juga pernah mengisi di beberapa radio talk, seminar dan penulis / admin dibeberapa blog seperti Kisah Para Dewa dan Cetya Tathagata yang telah memiliki lebih dari 20,000 pembaca setia.

tentang penulis

tentang penulis
Jacky Raharja adalah seorang entrepreneur kelahiran 10 February 1982 dan berdomisili di Jakarta. Mengawali karier profesional sebagai seorang Marketer pada sebuah Top Multinational Company yang bergerak di bidang FMCG pada tahun 2007. Mempunyai passion yang sangat tinggi dalam hal brand management & strategic dan meninggalkan dunia profesional pada tahun 2013 sebagai Brand Manager demi mengejar passion lainnya yaitu menjadi seorang Entrepreneur yang mempunyai jaringan bisnis sendiri. Bergabung dengan Cetya Tathagata Jakarta sebagai bagian dari committee sejak tahun 2005 dan sebagai salah satu kontributor atas artikel-artikel pada social media Cetya Tathagata Jakarta.

Most Reading

Diberdayakan oleh Blogger.